Munas Kagama : Anies Kirim Karangan Bunga ‘Poya Mothig Poya Haha’

primaberita-munas-kagama

Primaberita – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak menghadiri agenda Musyawarah Nasional (Munas) XIII Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama). Sebagai gantinya, Anies kirim karangan bunga.

Ketidakhadiran Anies disampaikan oleh salah seorang panitia acara. Pria tersebut menyampaikan Anies tidak hadir dan mengirimkan karangan bunga.

Baca juga : Cucu Ketiga Presiden Jokowi, La Lembah Manah Yang Berarti Dia…

Selain Anies, sejumlah tokoh mengirimkan karangan bunga, di antaranya Bupati-Wakil Bupati Buleleng, Kepala BKKBN RI Hasto Wardoyo, dan Bupati Gianyar.

Karangan bunga Anies yang memuat bahasa walikan Jogja itu terlihat di Musyawarah Nasional (Munas) XIII Kagama, di Hotel Grand Ina Bali Beach, Sanur, Denpasar, Bali, Jumat (15/11/2019).

Dalam karangan bunga tersebut, Anies mengingatkan semangat kebersamaan di zaman kuliah.

Karangan bunga dari Gubernur DKI Jakarta itu bertulisan “Eling jaman kuliah : ‘Poya mothig poya hoho, sing penting rukun tekan tuwo'”.

Kalimat tersebut jika diartikan menjadi “Ingat zaman kuliah: ‘Tidak punya uang tidak apa-apa, yang penting rukun sampai tua'”.

Dia juga mengajak alumni saling tolong dan mendukung satu sama lain. Anies juga memberi selamat atas digelarnya Munas Kagama.

Itu adalah bahasa walikan Jogja (Yogyakarta) atau bahasa kebalikan gaya Jogja, tempat kampus UGM berada.

Menerjemahkan bahasa walikan Jogja memang harus melewati jalan sedikit memutar. Mari kenali bahasa gaul masa silam itu.

Karangan Bunga Anies adalah Bahasa Walikan

Anies Baswedan memang mahasiswa UGM angkatan 1989. Pantas saja dia tidak asing dengan bahasa walikan Jogja. Soalnya, bahasa walikan memang populer di kalangan umum Jogja pada era ’80-an.

Dilansir dari buku ‘Urip Mung Mampir Ngguyu: Telaah Sosiologis Folklor Jogja‘ karya Sidik Jatmika, bahasa walikan adalah hasil dekonstruksi terhada aksara Jawa yang sudah mapan.

Konon, pengguna awal bahasa walikan ini adalah para gentho, gali, garong, alias preman. Copet, maling, dan rampok menggunakan bahasa ini supaya percakapan mereka tidak diketahui otoritas Orde Baru kala itu. Namun lama kelamaan, bahasa ini mulai dipahami orang non-kriminil.

Ada pula versi sejarah heroiknya yang juga populer, bahasa walikan digunakan oleh pejuang-pejuang zaman dulu supaya percakapan mereka tidak dipahami penjajah Belanda. Entah mana versi sejarah yang benar, belum ada yang cukup meyakinkan sejauh ini.

Yang jelas, pada dekade ’80-an di Jogja, bahasa walikan mulai menjadi bahasa gaul. Anak-anak muda Kota Pelajar mulai sering menggunakan ‘boso walikan’ ini.

Terkait : Terungkap Ini Dua Kekuatan Ahok Menjadi Pemimpin BUMN

Sebenarnya ini bukan sepenuhnya ‘bahasa’ dalam artian formal, melainkan hanya ragam bahasa yang tidak resmi dan tidak baku, alias bahasa slang. Pemakaiannya pun bukan diterjemahan dalam satu kalimat penuh, melainkan hanya sepotong-sepotong, atau kata-kata tertentu saja yang dibalik.

Add a Comment