Pengaruh Pola Makan “Picky Eater” Untuk Kesehatan Pada Anak

Primaberita.com – Anak yang terlalu pemilih dan hanya mau makan dengan makanan yang itu-itu saja disebut juga dengan Picky Eater. Jika kemauannya selalu dituruti bisa berpengaruh pada kurangnya asupan nutrisi. Picky Eater lebih sering terjadi pada anak usia prasekolah atau balita.

Di usia tersebut, anak mengalami perkembangan psikis menjadi lebih mandiri, dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta lebih mengekspresikan emosinya.

Sifat perkembangan yang terbentuk ini dapat memengaruhi pola makan anak. Proses pembelajaran makan yang baik sangat penting bagi anak di fase usia prasekolah agar ia tumbuh sehat dan cerdas. Angka kejadian masalah kesulitan makan di beberapa negara cukup tinggi.

Distribusi Subjek Berdasarkan Perilaku Picky Eater

Perilaku picky eater pada anak, terutama anak sekolah, merupakan hal yang umum dijumpai. Istilah picky eater sendiri bukan merupakan istilah yang umum digunakan di Indonesia, sehingga belum banyak orang memahami benar mengenai masalah ini.

Umumnya, orangtua menyadari kesulitan makan yang dialami anaknya, namun belum memahami benar penyebab timbulnya kesulitan makan ini, dan cara mengatasinya.

Picky eater dalam penelitian ini meliputi perilaku pilih-pilih makanan, menolak makanan baru (neofobia), variasi jenis makanan yang terbatas, menolak sama sekali makanan yang tidak disukai, dan hanya ingin makan makanan yang disukai.

Sebuah penelitian oleh The Gateshead Millenium Baby Study pada tahun 2006 di Inggris menyebutkan, 20 persen orangtua mengatakan anaknya mengalami masalah makan, dengan prevalensi tertinggi anak hanya mau makan makanan tertentu.

Survei lain di Amerika Serikat tahun 2004 menyebutkan 19-50 persen orangtua mengeluhkan anaknya sangat pemilih dalam makan sehingga terjadi defisiensi zat gizi tertentu. Penelitian yang dilakukan Sudibyo Supardi peneliti di National Institute of Health Research and Development terhadap anak prasekolah di Jakarta tahun 2015 menunjukkan hasil prevalensi kesulitan makan sebesar 33,6 persen.

Adapun 44,5 persen di antaranya menderita malnutrisi ringan sampai sedang dan 79,2 persen dari subjek penelitian telah mengalami kesulitan makan lebih dari 3 bulan. Kelompok usia terbanyak mengalami kesulitan makan adalah usia 1 sampai 5 tahun.

Sebanyak 43 persen anak yang mengalami kesulitan makan mengalami gizi buruk. Kreatif Menurut Prof. Dr. Rini Sekartini, SpA, picky eater merupakan gangguan perilaku makan pada anak yang berhubungan dengan perkembangan psikologis tumbuh kembangnya dan ditandai dengan keengganan anak mencoba jenis makanan baru.

Biasanya kondisi picky eater disebabkan kurangnya variasi makanan anak. “Anak tidak boleh memilih makanan yang disukai, suasana di rumah tidak menyenangkan, kurang perhatian orangtua, atau contoh yang kurang baik dari orangtua,” katanya. Orangtua harus bersikap tenang dan kreatif saat menghadapi balita picky eater.

Misalnya saja lebih variatif dalam menyajikan makanan. Jika anak hanya mau mengonsumsi telur saja, misalnya, maka sajikan juga makanan favoritnya itu dengan variasi makanan lain, misalnya sayur bening bayam. Di kesempatan lain, kombinasikan dengan makanan lainnya.

Orangtua juga perlu memberi contoh pola makan yang sehat dan bervariasi sambil makan bersama. Melibatkan anak saat memasak, mulai dari proses belanja sampai proses pembuatan, juga bisa mendorong ketertarikan anak untuk mencicipi makanan pilihannya sendiri.

Yang terpenting, orangtua perlu sabar dan tidak memaksa anak untuk makan sehingga anak tidak trauma dan malah semakin jadi pemilih.

Berdasarkan hasil analasis data dapat disimpulkan bahwa:

1. Subjek penelitian di SLB Negeri Semarang sebanyak 100% termasuk dalam kategori picky eater (pilih-pilih makanan)

2. Subjek di SLB Negeri Semarang yang mempunyai pola makan buruk sebesar 76,7% masih mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten dan kasein dan pola makan baik sebesar 23,3% sudah membatasi makanan yang mengandung gluten dan kasein.

3. Makanan yang biasa dikonsusmsi subjek masih banyak yang mengandung tinggi gluten dan kasein contohnya pada makanan sumber gluten dan kasein yang paling sering dikonsumsi adalah ayam goreng tepung dan susu sapi dengan frekuensi konsumsi 1-2x/minggu sampai >6x/minggu.

4. Status gizi pada subjek di SLB Negeri Semarang menurut CDC yang mempunyai status gizi kurang sebesar 30%, status gizi normal sebesar 46,7% dan status gizi lebih/gemuk sebesar 23,3%

Nah… Saran untuk para orangtua nih !

1. Bagi Sekolah dan orangtua

Pembaharuan informasi perlu dilakukan secara rutin oleh terapis untuk meningkatkan pengetahuan seputar autis, perilaku picky eater, dan pola makan yang tepat sehingga diharapkan dapat memperbaiki dan mendukung perkembangan anak autis secara optimal.

Sosialisasi perlu dilakukan seperti penyuluhan, pembuatan poster publikasi mengenai pentingnya pengaturan makan pada anak autis yaitu dengan melakukan pembatasan konsumsi sumber gluten dan kasein dan meningkatkan motivasi ibu untuk menyiapkan makanan khusus bagi anak autis serta membiasakan membaca label informasi gizi pada produk makanan sebelum dibeli apakah mengandung banyak gluten dan kasein.

2. Bagi Peneliti

Dianjurkan kepada peneliti lain untuk terus mengali dan meneliti permasalahan perilaku makan yang terjadi pada anak, khususnya picky eater mengingat masih sangat sedikit penelitian di Indonesia mengenai picky eater pada anak autis.

Add a Comment